Pada era 1990-an hingga awal 2000-an, Harley-Davidson mencapai puncak popularitasnya di Indonesia. Motor-motor legendaris ini bukan hanya sekadar kendaraan, melainkan telah menjadi simbol kemewahan, status sosial, dan gaya hidup. Memiliki sebuah Harley menjadi impian bagi banyak kalangan, menunjukkan tingkat keberhasilan seseorang dalam masyarakat.
Puncak popularitasnya ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan lebih banyak orang untuk membeli barang-barang mewah. Harley-Davidson menjadi ikon kebebasan, petualangan, dan eksklusivitas. Komunitas penggemar pun semakin berkembang pesat, mengadakan berbagai event dan touring yang menarik perhatian publik.
Namun, di balik puncak popularitasnya tersebut, seringkali melekat stigma negatif “moge” (motor gede) pada pengendaranya. Citra arogan, ugal-ugalan di jalan, atau cenderung melanggar aturan menjadi bayangan yang sulit dihindari. Persepsi ini seringkali timbul dari segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab.
Stigma negatif ini kadang menutupi sisi positif dari komunitas Harley-Davidson yang sebenarnya. Banyak klub yang aktif dalam kegiatan sosial, bakti sosial, dan kampanye keselamatan berlalu lintas. Namun, satu atau dua kejadian buruk bisa dengan cepat merusak puncak popularitasnya dan citra kolektif.
Media massa juga turut membentuk opini publik mengenai “moge”. Pemberitaan yang menyoroti perilaku negatif beberapa pengendara seringkali lebih menarik perhatian daripada kegiatan positif komunitas. Hal ini memperkuat pandangan negatif yang sudah ada di masyarakat.
Upaya untuk menghilangkan stigma ini terus dilakukan oleh komunitas Harley-Davidson sendiri. Mereka berulang kali mengampanyekan pentingnya etika berkendara, menghormati pengguna jalan lain, dan mematuhi peraturan lalu lintas. Tujuannya agar diikuti dengan citra yang positif.
Meskipun demikian, tantangan untuk mengubah persepsi publik bukanlah hal mudah. Dibutuhkan konsistensi dan kerja keras dari seluruh anggota komunitas untuk membuktikan bahwa pengendara Harley-Davidson adalah warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Singkatnya, era 1990-an hingga awal 2000-an adalah Harley-Davidson di Indonesia sebagai simbol status. Namun, bersamaan dengan itu, muncul pula stigma negatif “moge” yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi komunitas untuk terus berupaya membangun citra positif menghormati pengguna jalan lain, dan mematuhi peraturan lalu lintas. Tujuannya agar diikuti dengan citra yang positif.